Minggu, 30 April 2017

PADAT MODAL ATAU PADAT KARYA?

 
 
Terdapat dua pilihan alternatif dalam menunjang kegiatan produksi yaitu Padat Modal (Capital Intensive) dan Padat Karya (Labor Intensive). Teknik Padat Modal (TPM) mengandalkan kemampuan barang-barang modal (mesin-mesin). Sedangkan Teknik Padat Karya (TPK) lebih mengandalkan tenaga manusia sebagai faktor produksi. Pilihan terhadap TPM biasanya didasarkan atas keinginan untuk mencapai tingkat produksi yang optimum namundengan biaya produksi serendah mungkin. Dengan begitu harga jual menjadi lebih murah. Tetapi terdapat kendala dari pemilihan TPM, yaitu investasi dan modal awal yang amat tinggi. Sekalipun TPM menjanjikan banyak keuntungan, pilihan terhadap teknologi ini mendapat banyak tentangan khusunya di negara sedang berkembang seperti Indonesia.        TPM lebih cocok diterapkan di negara maju, dimana upah buruh disana sangat mahal. Sehingga alternative yang dapat dilakukan ialah mengganti tenaga kerja dengan teknologi mesin. Sedangkan di negara sedang berkembang (NSB) upah buruh amat murah, misalnya saja di Indonesia. Oleh karena itu, masih memungkinkan untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja daripada menggunakan mesin. Sehingga Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang lebih tepat menggunakan pendekatan Padat Karya untuk proses produksi. Selain upah buruh, alasan lain yang adalah penyerapan tenaga kerja. Dengan TPK berarti proses produksi akan membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Bila tenaga kerja banyak terserap, maka daya beli meningkat sehingga permintaan pasar bertambah. Dengan begitu laju perekonomian akan semakin baik.
Pasalnya di negara berkembang ketersediaan tenaga kerja manusia lebih banyak dibanding modal. Mempekerjakan banyak tenaga kerja akan lebih menghemat biaya operasional dibanding dengan menggunakan banyak mesin besar. Sementara di negara maju lebih cocok diterapkan teknik produksi padat modal. Hal ini karena di negara maju lebih banyak tersedia modal dibanding tenaga kerja. Selain itu, tenaga kerja di negara maju biasanya menginginkan upah atau gaji yang relatif lebih mahal.
Namun cara lain yang dapat dilakukan ialah dengan mengembangkan keduanya secara bersamaan. Industri padat modal cenderung lebih sulit untuk dikembangkan, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum bisa dirasakan hasilnya. Selama tahun-tahun itu (sebelum industri padat modal berbuah), industri padat karya seharusnya bisa digunakan untuk mensupport kegiatan perekonomian. Jika industri padat modal telah tumbuh, teknologi yang dihasilkan dari industri tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan level produksi industri padat karya. Secara implisit, TPK maupun TPM berfondasikan kualitas Sumber Daya Manusia yang tinggi. Kualitas tersebut mencakup kualitas fisik (kesehatan dan gizi), non fisik (pendidikan dan ketrampilan), moral dan etika. Dengan kualitas SDM yang tinggi, baik padat modal maupun padat karya akan dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia.


Rabu, 19 April 2017

Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Indonesia

sumber gambar : mediatataruang.com
 

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yang unggul dalam pertaniannya. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk sangat besar. Jumlah penduduk tersebut semakin bertambah setiap tahunnya. Sehingga di Indonesia rentan akan terjadinya alih fungsi lahan. Dimana lahan produktif dijadikan sebagai perumahan untuk mengimbangi peningkatan jumlah penduduk. Alih fungsi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Bila keadaan seperti ini terus dibiarkan tanpa adanya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif, maka lahan-lahan pertanian produktif akan terus dialih fungsikan dan semakin berkurang. Keadaan ini akan berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri, karena mengingat begitu penting dan bermanfaatnya lahan pertanian bagi menunjang kelangsungan masyarakat dalam hal pangan.

Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan strategi dalam mengatasi dan mengendalikan permasalahan alih fungsi lahan yang terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pengendalian alih fungsi lahan sawah yang dapat dilakukan diantaranya, yaitu melalui kebijakan regulasi. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan proses alih fungsinya. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah. Namun, pelaksanaan regulasi ini di lapangan belum sepenuhnya konsisten sesuai aturan yang ada.

Banyaknya alih fungsi lahan juga disebabkan karena minimnya minat masyarakat terhadap sector pertanian. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa pertanian merupakan salah satu sector yang kurang menjanjikan dan memiliki risiko yang cukup tinggi. Sehingga, diperlukan pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Ini merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian.

Upaya yang tidak kalah penting untuk mengurangi dan mengatasi agar tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian adalah dengan melakukan berbagai macam sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya lahan pertanian kaitannya dengan keberlanjutan kebutuhan pangan penduduk dan menyakinkan kembali pada publik dan petani bahwa menjadi petani adalah pekerjaan terhormat dan mulia. Selain itu, dengan adanya penjaminan atau perlindungan lahan dari pemerintah adalah merupakan solusi yang terbaik untuk keberlanjutan lahan pertanian. Pemerintah juga harus mampu memberikan motivasi usaha di kalangan petani agar termotivasi untuk mengubah cara pandang yang tradisional menjadi kea rah yang lebih modern.


Minggu, 16 April 2017

Bonus Demografi, Peluang atau Ancaman?


 
Bonus demograf adalah masa di mana angka beban ketergantungan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak produktif mengalami penurunan. Dengan arti kata setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia tidak produktif. Untuk mendapatkan bonus demografi tersebut, maka kualitas SDM harus ditingkatlkan secara maksimal melalui pendidikan, pelayanan kesehatan dan penyediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data poyeksi penduduk, bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada rentan waktu tahun 2020 sampai tahun 2035. Kemudian Indonesia akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+), sehingga meningkatkan kembali rasio ketergantungan. Tetapi bonus demografi tidak hanya memberikan manfaat saja, tetapi juga terdapat dampak negatif yang dapat menjadi bencana bagi Indonesia.

Bonus demografi tentu saja dapat membawa keuntungan bagi Indonesia ketika penduduk Indonesia memanfaatkan peluang ini dengan sebaik – baiknya. Jika penduduk usia produktif sadar sejak awal dan berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin pada masa produktifnya, misalnya dengan menyiapkan investasi untuk masa pensiun dan melakukan akumulasi asset maupu tabungan. Bonus demografi akan menjadi pilar peningkatan produktifitas suatu negara dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM yang produktif ketika penduduk usia produktif tersebut mampu menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan memiliki tabungan yang dapat dimobilisasi menjadi investasi.

Namun sebaliknya, bonus demografi juga dapat mendatangkan “bencana” demografi ketika penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak memperoleh ketrampilan yang cukup. Ketika hal ini terjadi, maka penduduk usia produktif akan menjadi pengangguran dan akan menghambat laju pertumbuhan perkonomian. Ketika penduduk usia produktif yang jumlahnya besar tidak terserap oleh lapangan pekerjaan yang tersedia dalam sebuah perekonomian, maka akan menjadi beban ekonomi karena penduduk usia produktif yang tidak memiliki pendapatan akan tetap menjadi beban bagi penduduk yang bekerja dan akan memicu terjadinya angka pengangguran yang tinggi.

Penduduk usia produktif terutama mereka yang berusia muda harus terus menerus didorong untuk memahami potensi yang dimilikinya. Mereka juga perlu selalu diingatkan dan dimotivasi untuk meningkatkan kapasitas serta kompetensi dirinya. Diharapkan penduduk usia produktif nanti mampu berkreasi dan mampu bersaing baik di level lokal, regional, maupun global. Dorongan tersebut akan berjalan lebih efektif apabila penduduk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang bonus demografi. Oleh karena itu, sosialisasi tentang bonus demografi khususnya kepada penduduk usia produktif sangat diperlukan.

Ada beberapa hal yang dapat mendorong tercapainya bonus demografi dapat dimaksimalkan, diantaranya yaitu (1) peningkatan kualitas penduduk melalui pendidikan dan kesehatan. Angka partisipasi sekolah harus terus ditingkatkan agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat. (2) tersedianya lapangan kerja yang berkualitas, (3) meningkatkan tabungan keluarga, (4) terus menggiatkan program KB agar jumlah penduduk dapat terkendali, dan (5) meningkatkan perempuan yang masuk dalam pasar kerja.

Saat ini tinggal kita sebagai mahasiswa dan kelompok penduduk usia produktif untuk memilih bonus atau bencana.

Minggu, 02 April 2017

Sustainable Development Goals dalam Mewujudkan Kesejahteraan di Indonesia


Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan salah satu misi penting yang dapat membawa negara-negara menyukseskan pembangunan negaranya pada 2016 – 2030. Tujuan ini menjadi ganti dari Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2000 – 2015. SDGs berisi seperangkat tujuan yang  disepakati dan berlaku bagi seluruh negara tanpa terkecuali termasuk Indonesia. Indonesia akan mampu menjadi negara yang menyediakan kesejahteraan berkelanjutan apabila ada kerjasama yang baim antara Pemerintah dengan masyarakat untuk melaksanakan Sustainable Development Goals (SDGs). Untuk itu, sosialisasi secara berkesinambungan perlu dilakukan supaya masyarakat di setiap negara mengerti akan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan media massa.

Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) memiliki beberapa berbedaan, diantaranya adalah:


MDGs (2000-2015)

SDGs (2016-2030)

50 persen
Target dan sasarannya adalah separuh:
mengurangi separuh kemiskinan.
Target yang terlalu minimal.
Banyak negara telah terlebih dahulu
Mencapainya
100 persen
Target dan sasarannya adalah semua,
sepenuhnya dan tuntas
•  Mengakhiri kemiskinan
•  100 persen penduduk memiliki akta
kelahiran
•  memerlukan fokus, untuk merangkul
mereka yang terpinggir dan terjauh.
Dari negara maju, untuk negara
berkembang
MDGs mengandaikan bahwa negara
miskin dan berkembang yang mempunyai
pekerjaan rumah. Sementara itu negara
maju mendukung dengan penyediaan
dana.
Berlaku universal
SDGs memandang semua negara memiliki
pekerjaan rumah.
Tiap–tiap negara wajib mengatasinya.
Tiap–tiap negara harus bekerja sama untuk
menemukan sumber pembiayaan dan
perubahan kebijakan yang diperlukan.
Dari Atas (top down)
Dokumen MDGs dirumuskan oleh para elite
PBB dan OECD, di New York, tanpa melalui
proses konsultasi atau pertemuan dan
survei warga.
Dari Bawah (bottom up) dan partisipatif
Dokumen SDGs dirumuskan oleh tim
bersama, dengan pertemuan tatap muka
lebih dari 100 negara dan survei warga.
Solusi parsial atau tambal sulam
8 Tujuan MDGs sebagian besar hanya mengatasi gejala–gejala kemiskinan saja
Masalah ekologi dan lingkungan hidup tidak diakui
Ketimpangan tidak mendapatkan perhatian.
Demikian halnya dengan soal pajak dan pembiayaan pembangunan
Solusi yang menyeluruh
Berisi 17 tujuan yang berupaya merombak
struktur dan sistem
•  Kesetaraan gender
•  Tata pemerintahan
•  Perubahan model konsumsi dan produksi
•  Perubahan sistem perpajakan
•  Diakuinya masalah ketimpangan
•  Diakuinya masalah perkotaan

 

SDGs berisi 17 Tujuan. Salah satu Tujuan SDGs adalah mengatur tata cara dan prosedur masyarakat yang damai tanpa kekerasan, nondiskriminasi, partisipasi, tata pemerintahan yang terbuka serta kerja sama kemitraan multi pihak. Adapun 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah:

1.      Tanpa Kemiskinan


Tidak ada kemiskinan dalam bentuk apapun di seluruh penjuru dunia.


2.      Tanpa Kelaparan


Tidak ada lagi kelaparan, mencapai ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang berkelanjutan.


3.      Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan


Menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur.


4.      Pendidikan Berkualitas


Menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang.


5.      Kesetaraan Gender


Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum ibu dan perempuan.


6.      Air Bersih dan Sanitasi


Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.


7.      Energi Bersih dan Terjangkau


Menjamin akses terhadap sumber energi yang terjangkau, terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk semua orang. 


8.      Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan yang Layak


Mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan, lapangan kerja yang produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua orang.


9.      Industri, Inovasi dan Infrastruktur


Membangun infrastruktur yang berkualitas, mendorong peningkatan industri yang berkelanjutan serta mendorong inovasi.


10.   Mengurangi Kesenjangan


Mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di antara negara-negara di dunia.


11.  Keberlanjutan Kota dan Komunitas


Membangun kota-kota serta pemukiman yang berkualitas, aman dan bekelanjutan.


12.  Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab


Menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola produksi.


13.  Aksi Terhadap Iklim


Bertindak cepat untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.


14.  Kehidupan Bawah Laut


Melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan yang berkelanjutan.


15.  Kehidupan di Darat


Melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah.


16.  Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian


Meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan bagi semua orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan.


17.  Kemitraan untuk Mencapai Tujuan


Memperkuat implementasi dan menghidupkan kembali kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.


            Sebagai tolak ukur manfaat dari adanya Pembangunan Berkelanjutan ini adalah  bisa dilihat dari tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Tercukupinya perumahan dan pangan bagi seluruh kelompok masyarakat, serta berkurangnya ketimpangan. Dalam mewujudkan SDGs ini, sangat diperlukan peran pemerintah daerah karena sistem pemerintahan Indonesia saat ini yang menganut sistem desentralisasi sehingga nasib dan kualitas masyarakat dalam praktiknya sangat ditentukan oleh kinerja dari pemerintah daerah.

 

Referensi : 

http://www.un.org/sustainabledevelopment/