Rabu, 08 November 2017

Perubahan Sistem Kelembagaan (Studi Kasus Perubahan Kurikulum Pendidikan)


Pada kesempatan kali ini, saya akan membahas mengenai perubahan kelembagaan dengan studi kasus yaitu perubahan kurikulum yaitu pada pendidikan secara umum di Indonesia dan juga dalam lingkup FEB UB.

Perubahan kurikulum pendidikan dari KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) ke Kurikulum 2013 (K-13). Perubahan ini terjadi ketika saya masih berada di tingkat Sekolah Menengah Atas yaitu tahun 2014. Alasan dilakukannya perubahan pada sistem pendidikan ini adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman agar output dari peserta didik mampu bersaing di masa depan. Alasan lain dilakukannya perubahan kurikulum ini adalah bahwa kurikulum lama (KTSP) dianggap masih memberatkan siswa dalam hal mata pelajarannya sehingga justru menjadi beban bagi siswa. Selain itu, pada kurikulum KTSP terdapat kebebasan bagi guru untuk mengatur materi-materi yang akan disampaikan kepada siswa sehingga terdapat banyak perbedaan antar sekolahnya dan berjalan kurang maksimal atau sumber daya gurunya belum terpakai secara maksimal. Mengenai pelajaran yang memberatkan siswa, misalnya saja pada jenjang SD yang dulunya ada 10 mata pelajaran pada KTSP tetapi dalam Kurikulum 2013 hanya ada 6 mata pelajaran. Di sisi lain, pemerintah menambah jam belajar. Memang dalam kurikulum 2013 ini lebih menekankan pada pendidikan karakter.

Menurut saya, dengan adanya perubahan sistem pendidikan ini terdapat dampak baik positif maupun negative. Pada dampak positif, misalnya dengan adanya kurikulum 2013 ini dapat meningkatkan keseimbangan antara soft skill maupun hard skill dan siswa dapat lebih fokus pada pelajaran karena tidak terlalu banyak mata pelajaran. Sedangkan untuk dampak negatifnya yaitu dengan adanya jam pelajaran yang ditambah akan memberatkan siswa dan membuat siswa lebih lelah dan waktu untuk kegiatan lain seperti untuk ekstrakurikuler dan mengaji menjadi berkurang. Menurut saya dalam penerapan kurikulum 2013 masih kurang adanya penelitian sebelumnya, padahal seharusnya dalam penerapan suatu aturan kelembagaan harus diketahui seberapa besar biaya yang dikeluarkan maupun manfaat yang akan diperoleh jika kebijakan itu diterapkan sehingga banyak sekolah yang masih belum siap. Mungkin karena hal inilah Kurikulum 2013 dihentikan pada tahun 2015 dan dikembalikan ke kurikulum KTSP.

Hal yang serupa sebetulnya juga terjadi di lingkungan sekitar kampus khususnya di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UB. Mulai semester ganjil ini atau mulai ajaran 2017/2018 telah diberlakukan perubahan kurikulum dalam mata kuliah Ilmu Ekonomi. Disana terdapat beberapa perubahan dalam hal mata kuliah yang dihilangkan atau mata kuliah yang awalnya bersifat tidak wajib menjadi wajib. Pada awalnya memang banyak yang kurang jelas atau masih merasa bingung dengan adanya kebijakan baru ini, tetapi lama-lama dapat diatasi dan disesuaikan.

#Tugas5

 

Kamis, 28 September 2017

Mengenal Biaya Transaksi


Sumber gambar: www.dictio.id
Seperti yang telah dipelajari di kelas sebelumnya, biaya transaksi merupakan segala biaya yang dikeluarkan sebelum terjadinya transaksi, misalnya biaya mencari informasi produk, biaya kontrak, biaya negosiasi dan lain-lain. Biaya transaksi sebenarnya sangat sering terjadi di kehidupan kita baik itu berupa transaksi besar ataupun transaksi kecil. Biaya transaksi muncul ketika kita membeli ataupun menjual suatu barang.

Contoh adanya biaya transaksi yang pernah saya alami yaitu ketika akan membeli barang melalui online shop, misalnya sepatu. Sebelum memutuskan untuk membeli sepatu yang mana dan dimana akan membeli, pasti mencari-cari terlebih dahulu melalui media sosial, biasanya instagram untuk melihat bagaimana bentuk barangnya dan harga serta membandingkannya dengan penjual online yang lainnya mengenai harga. Nah pencarian informasi tersebut pasti membutuhkan kuota internet atau pulsa. Sehingga kuota internet atau pulsa tersebut merupakan biaya transaksi yang kita perlukan. Selain itu pasti kita membutuhkan pulsa lagi untuk menghubungi penjual. Berbeda dengan ketika kita membeli secara langsung di toko yang tidak perlu membutuhkan biaya transaksi berupa kuota ataupun pulsa.

Contoh lain yang pernah saya alami adalah ketika akan membeli sebuah handphone. Walaupun kita membeli secara langsung di counter, tetapi kita perlu membuka internet untuk mencari tahu bagaimana spesifikasi handphone yang akan kita beli. Sehingga hal itu membutuhkan biaya.

Selain biaya dalam bentuk nominal, kita juga mengeluarkan waktu untuk mencari-cari informasi sebelum membeli suatu barang. Waktu yang kita keluarkan untuk mencari informasi tersebut juga dapat dikatakan sebagai biaya transaksi, karena dengan waktu tersebut sebetulnya kita dapat melakukan hal lain yang lebih bermanfaat lagi dan lebih menghasilkan sesuatu yang bernilai.

Pada intinya, biaya transaksi bisa dikatakan efisien jika informasi yang kita cari mengenai suatu produk semakin lengkap, sehingga asimetris informasi hanya sedikit atau bahkan tidak ada.

#Tugas4

Minggu, 24 September 2017

Permasalahan Sosial di Sekitar Kita


Sebagai makhluk sosial, kita tidak bisa terhindar dari yang namanya interaksi dengan individu atau kelompok lain. Di setiap kegiatan kita pasti selalu melibatkan campur tangan orang lain. Tidak jarang kontak sosial tersebut menimbulkan efek bagi kita baik efek positif maupun negative. Dampak negative yang muncul dari adanya kehidupan sosial adalah munculnya msalah – masalah sosial. Contoh masalah sosial yang ada di sekitar rumah saya adalah saya menemukan ada beberapa orang pengemis yang memang sudah terbiasa mampir ke rumah saya untuk mengemis. Tidak setiap hari mereka menghampiri rumah yang sama, tetapi ada selingan. Bisa dikatakan mampir ke rumah yang sama sekitar 2 atau 3 kali dalam satu minggu. Beberapa kali juga saya bertemu dengan pengemis wanita tersebut  diturunkan oleh seorang laki – laki yang sepertinya adalah suaminya di seberang  jembatan sebelum ia berkeliling untuk mengemis di rumah – rumah warga. Dari motor yang mereka gunakan, terlihat cukup bagus dan baru. Bahkan terlihat beberapa gelang emas dipakai pengemis tersebut ketika berkeliling untuk mengemis.

Keadaan tersebut mencerminkan seperti bukan keadaan yang sebetulnya pantas untuk mengemis. Karena dari segi fisik, mereka masih kuat jika melakukan pekerjaan lain selain mengemis. Selain itu, mereka masih mampu untuk memiliki kendaraan bermotor. Memang jika dihitung, penghasilan dari mengemis cukup menjanjikan dibandingkan dengan kerja yang lainnya. Mungkin itu salah satu alasan mereka untuk lebih memilih mengemis. Sebagai kaum intelektual, kita dituntut untuk bisa mengidentifikasi apa saja masalah yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Seperti permasalahan di atas,  seorang peneliti bisa mencari tahu apa yang menjadi sebab dan alasan permasalahan itu dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara terjun langsung untuk mendekati subjek penelitian, karena subjek yang diteliti memiliki latar belakang sosial yang pasti berbeda dengan peneliti.
#Tugas3

Rabu, 13 September 2017

Ekonomi Kelembagaan di Sekitar Kita


Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak akan pernah bisa lepas dari kegiatan ekonomi. Mulai dari diri kita sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, maupun instansi kita. Adanya kegiatan ekonomi tersebut tanpa kita sadari telah menciptakan suatu kelembagaan baik formal maupun informal. Kita sebagai makhluk sosial juga tidak bisa menghindari adanya interaksi dengan individu lain baik dalam hal ekonomi maupun sosial lainnya. Contoh kegiatan yang berhubungan dengan ekonomi maupun sosial yang  saat ini sedang terjadi di sekitar kita adalah kegiatan penggalangan dana oleh Keluarga Mahasiswa FEB UB dengan tema KM FEB PEDULI ROHINGYA yang mengajak seluruh mahasiswa FEB untuk turut andil dalam kegiatan penggalangan dana untuk membantu musibah yang menimpa muslim Rohingya. Kegiatan tersebut merupakan salah satu contoh kegiatan ekonomi kelembagaan sederhana yang ada di wilayah kampus. Kegiatan tersebut dapat mendorong arus perekonomian sekaligus menumbuhkan jiwa sosial kita serta membantu saudara kita yang sedang berlindung karena tragedy Rohingya di Myanmar.
#TUGAS2

Selasa, 05 September 2017

Ekonomi Kelembagaan di Sekitar Kita

Ekonomi kelembagaan merupakan salah satu sistem ekonomi yang berperan melengkapi sistem ekonomi yang sudah ada sebelumnya. Dalam ekonomi kelembagaan, setiap pelaku ekonomi dipandang sebagai individu yang dapat melakukan kegiatan ekonomi baik produksi, distribusi, maupun konsumsi. Dalam ekonomi kelembagaan terdapat unsur sosial yang ikut memengaruhi terjadinya transaksi ekonomi. Sebagai contoh sederhana ekonomi kelembagaan yang ada di sekitar kita adalah ketika kita sedang membutuhkan biaya dan berusaha untuk mencari uang dengan cara menjual suatu barang. Pasti kita memiliki teman baik di lingkungan sekitar rumah maupun sekolah atau kampus. Seringkali naluri sosial teman kita muncul sehingga membantu kita untuk membeli barang yang kita jual yang tujuannya kita memperoleh pemasukan agar dapat mencukupi suatu hal yang kita butuhkan. Dalam hal ini, unsur sosial masuk dalam ekonomi yang terangkum dalam ekonomi kelembagaan.
Contoh ekonomi kelembagaan lain yang pernah saya alami ialah koperasi di lingkup RT yang saya ikuti melakukan bakti sosial dalam rangka membagikan sisa hasil usaha kepada tetangga dan masyarakat sekitar yang kurang mampu.
Jadi pada intinya, faktor sosial dapat memengaruhi dan mendorong adanya kegiatan ekonomi dan untuk mencapai kesejahteraan bersama.
#Tugas1

Kamis, 25 Mei 2017

Permasalahan dan Potensi Dusun Sumbersari




 


 
 
 

Melanjutkan tulisan dari pengabdian desa sebelumnya, setelah melakukan pengabdian di Dusun Sumbersari selema 3 hari 2 malam, terdapat banyak potensi yang dimiliki dusun ini dan juga beberapa permasalahan yang dapat kita temukan di sana. Dusun Sumbersari memiliki sumber daya alam yang dapat diunggulkan yaitu tanah subur sehingga cocok untuk ditanami berbagai jenis tanaman. Saat ini, komoditas unggulan yang ada di Dusun Sumbersari adalah kopi. Kopi yang dihasilkan dari dusun ini ada beberapa jenis, diantaranya adalah kopi merah. Harga jual dari kopi tersebut juga bermacam-macam tergantung dengan kualitas dari kopi tersebut. Selain itu, sebagian warga di Dusun Sumbersari memiliki lahan di sekitar rumah mereka yang ditanami sayuran seperti manisa dan talas. Biasanya manisa selain digunakan untuk konsumsi sendiri juga dijual ke pengepul. Sedangkan untuk talas, ada beberapa warga yang menjadikannya keripik talas dan menjualnya dalam kemasan.
Selain itu, Dusun Sumbersari juga unggul dengan hasil pinusnya. namun sayangnya masih ada keluhan masyarakat setempat mengenai pohon pinus yang mengganggu pertumbuhan pohon kopi karena jarak penanamannya yang terlalu dekat sehingga hasil kopi tidak dapat maksimal. Jika dilihat dari permasalahan, kebanyakan permasalahan yang masih terjadi di desa ini adalah masalah infrastruktur, seperti akses jalan, fasilitas umum yaitu kesehatan dan pendidikan, hingga masalah ekonomi. Untuk fasilitas jalan raya memang sudah mulai ada perbaikan yaitu sudah diaspal tetapi masih baru-baru ini setelah UB Forest mulai masuk untuk melakukan kerjasama dengan pihak Perhutani yaitu pada 19 September 2016 lalu. Namun keadaan jalan tersebut masih rawan untuk dilalui karena masih terdapat banyak pasir yang menutupi aspal sehingga seringkali menyebabkan pengendara motor terjatuh.
Fasilitas listrik di sana bisa dikatakan juga masih memprihatinkan. Padahal letak Desa Sumber Sari yang tidak terlalu jauh dari pusat Kota Malang yang fasilitasnya sangat berbeda jauh dari Kota Malang. Untuk listrik, disana masih menggunakan sistem berbagi dengan satu pusat listrik, yaitu 5500 volt untuk dibagi ke seluruh desa. Bahkan di sepanjang jalan desa ini belum dipasang lampu karena untuk rumah – rumah warga saja masih belum cukup. Terdapat sekitar 28 rumah di desa tersebut namun ada 2 rumah yang tidak ikut menggunaka fasilitas listrik bersama ini karena telah memiliki panel surya yang merupakan sumbangan dari seseorang. Setiap rumah di desa ini diperbolehkan menggunakan maksimal 3 buah lampu dan tv atau dvd jika ada.
Untuk tarif listrik yang dikenakan saya rasa masih kurang adil. Pembagiannya hanya berdasarkan jumlah item alat elektronik yang digunakan, padahal intensitas penggunaan dari tiap rumah pasti berbeda. Jika hanya menggunakan lampu, maka tariff listriknya Rp 50.000. Jika memiliki televisi, maka tarifnya Rp 60.000 dan jika terdapat dvd maka Rp 70.000. Pembayaran listriknya dilakukan setiap pulsa listrik dari pusatnya habis. Biasanya tidak sampai satu bulan sudah habis yaitu maksimal 23 hari saja. Menurut Ibu yang rumahnya saya tinggali, ada kecurangan yang dilakukan oleh warga lain. Terkadang mereka menggunakan lampu yang lebih banyak tetapi membayar dengan nominal sama dengan yang lainnya.
Rumah – rumah warga yang berada di Desa Sumber Sari tersebut belum ada yang tersertifikasi, karena permasalahan hak milik tanah yang belum jelas antara warga dan pihak perhutani dengan UB. Sehingga warga yang sebenarnya ingin membangun rumah permanen untuk hidup yang lebih layak terhambat karena masalah kepemilikan tanah tadi. Apalagi baru – baru ini ada wacana kalau jalan utama desa tersebut rencananya akan diperlebar sehingga warga harus memundurkan rumah mereka sekitar 15 meter. Jika ini benar – benar akan dilakukan, warga harus kehilangan lahan belakang rumah mereka yang biasanya mereka gunakan untuk menanam sayuran.
Selain itu, fasilitas MCK di sana bisa dikatakan kurang layak. Terlihat ada beberapa kamar mandi umum yang sudah tidak digunakan karena rusak, namun kamar mandi umum lain masih dalam proses pembangunan oleh pihak UB Forest. Permasalahan lain yang ada di Desa Sumber Sari adalah masalah modal. Sebetulnya warga memiliki keinginan untuk membuka usaha baru seperti berdagang, tetapi terkendala oleh masalah modal. Hasil kerja mereka dari berladang hanya cukup untuk hidup sehari – hari sehingga sulit untuk menabung sebagai modal usaha.
Untuk mengatasi permasalahan yang ada di Desa Sumber Sari, harus ada beberapa pihak yang terlibat. Antara lain pihak pemerintah daerah setempat, pihak Perhutani maupun UB Forest, kita sebagai mahasiswa, dan juga masyarakat di sana sendiri. Pemerintah daerah setempat sebaiknya lebih memperhatikan masalah akses jalan dan fasilitas yang vital agar dapat menunjang kegiatan ekonomi warga di sana. Selain itu, pihak Perhutani dan pengelola UB Forest sebaiknya segera memperjelas permasalahan pengolahan dan hak milik lahan agar warga dapat semaksimal mungkin menggunakan lahan yang ada di sana untuk berladang sehingga dapat menghasilkan output yang maksimal. Antara pihak principal dan agen harus adil, sistem pengupahan bagi warga yang ikut mengelola kebun kopi milik UB Forest harus adil, hak dan kewajiban antara principal dan agen harus segera diperjelas dan membentuk sistem kontrak antara UB Forest dan warga setempat secara transparan. Kita sebagai mahasiswa juga berkewajiban ikut serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sana seperti dengan memberikan pengetahuan yang kita miliki bagi warga di sana.


 

 

Senin, 22 Mei 2017

Kegiatan Pengabdian di Desa Sumber Sari




Hari jumat lalu tanggal 19 mei  hingga minggu 21 mei 2017 kami anggota kelas AE Perekonomian Indonesia FEB UB yang diampu oleh dosen kami, Ibu Yenny Kornitasari, SE,. ME melaksanakan kegiatan pengabdian desa. Kagiatan ini kami laksanakan di lingkungan UB Forest yaitu di Desa Sumber Sari Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang. Konsep dari kegiatan pengabdian tersebut ialah dengan membagi anggota kelas menjadi 11 kelompok dan tiap kelompok beranggotakan 3 orang. Dari kelompok – kelompok tersebut disebar ke beberapa rumah warga untuk membantu setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemilik rumah tersebut. Kegiatan pengabdian dimulai dari keberangkatan ke Desa Sumber Sari pada Jumat sore dan mulai melakukan plotting ke rumah setelah sholat isya’ berjamaah.

Sabtu pagi kami mulai mengikuti setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemilik rumah yang kami tinggali. Kegiatan disana beragam, mulai dari memasak, berladang, ternak, dan berdagang. Kebetulan kami menempati rumah milik Bapak Mugi dan Ibu Nur dan satu anak perempuan mereka bernama Mila yang duduk di kelas 5 SD. Pak Mugi dipercaya oleh pengelola UB Forest untuk bertanggung jawab mengawasi kegiatan di kebun kopi yang dikelola UB di Desa Sumber Wangi. Sehingga Pak Mugi lebih banyak berada di luar rumah untuk berkeliling dengan menggunakan motor yang dipinjami oleh pihak UB Forest untuk menunjang pekerjaan beliau. Namun Pak Mugi juga memiliki 10 ekor kambing dan beberapa ayam yang dipelihara di belakang rumah sehingga juga harus mencari rumput untuk pakan kambing – kambingnya. Sedangkan istri Pak Mugi, Bu Nur tidak bekerja dan seharai – harinya di rumah untuk mengurus pekerjaan rumah.

Di sana kami membantu Bu Nur melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak, menyapu, mencuci, dan memberi makan kambing. Selain itu kami juga membantu memasak tumpeng untuk acara kami pada Sabtu malam yaitu ramah tamah di mushola desa setempat. Acara tersebut bertujuan untuk mempererat tali silaturahim antara kami dengan warga Desa Sumber Sari. Yang sangat terlihat dari aktivitas warga di sana adalah sifat kegotong royongan. Hal itu terlihat dari adanya salah satu warga di sana yang memiliki hajat syukuran dalam rangka lulusan TK anaknya. Sejak pagi para ibu di desa tersebut sudah berkumpul di rumah keluarga yang memiliki hajat untuk membantu memasak nasi kuning. Sangat terlihat bagaimana kerukunan antar warga di sana yang jarang ditemukan di wilayah perkotaan. Bahkan ketika makanan atau bahan makanan salah satu dari Ibu di sana habis, mereka juga saling berbagi satu sama lain.

Kegiatan kami berakhir pada Minggu siang 21 Mei yang diawali dengan melakukan kerja bakti untuk membersihkan daerah jalan dan mushola di Desa Sumber Sari dan kami akhiri dengan pembagian sembako ke seluruh rumah yang ada di desa tersebut. Walaupun hanya 2 malam, kami sudah merasa dekat dengan warga di sana karena keramahan dan sifat welcome mereka kepada kami. Bahkan ketika saya berpamitan kepada Bu Nur, beliau sempat menangis dan mencoba menahan kami untuk kembali ke UB. Pada intinya, kerukunan lah yang membuat kehidupan di Desa Sumber Sari ini menjadi lebih berarti yang tidak dapat kita temui jika kita tinggal di wilayah perkotaan.

Sabtu, 06 Mei 2017

LITERASI KEUANGAN DI INDONESIA





Ada tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan pemanfaatan sektor keuangan oleh masyarakat. Tiga masalah penting yang dimaksud adalah inklusi keuangan, literasi keuangan, dan financial deepending. Inklusi keuangan yang dimaksud adalah rasio penduduk yang menggunakan fasilitas perbankan atau layanan keuangan lainnya masih rendah. Masalah kedua yaitu angka literasi keuangan, dimana masyarakat yang melek di bidang perbankan masih rendah. Masalah ketiga adalah financial depending yang merupakan perilaku dari pelaku perbankan maupun non bank yang agak enggan untuk membuat rincian jenis-jenis portofolio perbankan.

Literasi keuangan (financial literacy) atau lebih mudah dikenal dengan melek keuangan, adalah keadaan dimana seseorang mampu mengelola keuangannya dengan baik sehingga dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis bagi dirinya sendiri. Sesungguhnya, cerdas secara finansial itu sendiri adalah suatu keuntungan. Dengan memiliki kecerdasan finansial, seseorang akan mampu membuat keputusan yang tepat khususnya dalam segi keuangan, yang nantinya dapat diimplikasikan pada kehidupan sehari – harinya.

Minimnya literasi keuangan sering kali menjadi kendala kemajuan perekonomian, khususnya di Indonesia yang masih dalam tahap perkembangan. Berbeda dengan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Australia, dan Kanada, di Indonesia pembekalan untuk mendapatkan literasi keuangan dinilai masih sangat minim. Kalau di negara maju masyarakatnya sudah dibekali ilmu-ilmu keuangan secara cukup mendalam sejak mereka masih di Sekolah Menengah Atas (SMA), di sini rata-rata masyarakat baru mendapatkan pembekalan seperti itu ketika mereka duduk di bangku kuliah, itu pun tidak semua jurusan memberikannnya. Belum lagi ditambah dengan banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak menempuh pendidikan tinggi karena berbagai faktor.

Indonesia memiliki lembaga keuangan yaitu Otoritas Jasa Keuangan yang sedang mengembangkan program inklusi dan literasi keuangan dengan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Program inklusi dan literasi keuangan sangat penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena mengenalkan adanya akses permodalan yang baik. Dengan akses permodalan yang baik akan membuat kegiatan perekonomian menjadi lebih hidup dan juga menurunkan tingkat kesenjangan di masyarakat. Hasil survei indeks literasi keuangan di tahun 2013 berada di level 21,8%, sementara di 2016 terjadi perbaikan menjadi 29,6% untuk literasi keuangan. Kenaikan terjadi baik secara gender, tingkat pendapatan, pendidikan, pengetahuan industri keuangan, hingga perbedaan konvensional dan syariah. Namun tingkat literasi keuangan perempuan masih di bawah literasi keuangan laki – laki.

Sebagai mahasiswa, kita juga berperan dalam meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia. Mahasiswa bisa sebagai agen edukasi untuk lebih menyebar luaskan tentang literasi keuangan ke masyarakat daerah yang masih tertinggal dan minim dengan pengetahuan atau informasi keuangan. Ini dapat dilakukan ketika mahasiswa melakukan KKN ataupun kuliah umum rutin yang dapat dilakukan ke daerah pelosok. Hal ini akan membantu pemerintah dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan di Indonesia agar laju pertumbuhan modal dan investasi dapat ditingkatkan.

 
 

Minggu, 30 April 2017

PADAT MODAL ATAU PADAT KARYA?

 
 
Terdapat dua pilihan alternatif dalam menunjang kegiatan produksi yaitu Padat Modal (Capital Intensive) dan Padat Karya (Labor Intensive). Teknik Padat Modal (TPM) mengandalkan kemampuan barang-barang modal (mesin-mesin). Sedangkan Teknik Padat Karya (TPK) lebih mengandalkan tenaga manusia sebagai faktor produksi. Pilihan terhadap TPM biasanya didasarkan atas keinginan untuk mencapai tingkat produksi yang optimum namundengan biaya produksi serendah mungkin. Dengan begitu harga jual menjadi lebih murah. Tetapi terdapat kendala dari pemilihan TPM, yaitu investasi dan modal awal yang amat tinggi. Sekalipun TPM menjanjikan banyak keuntungan, pilihan terhadap teknologi ini mendapat banyak tentangan khusunya di negara sedang berkembang seperti Indonesia.        TPM lebih cocok diterapkan di negara maju, dimana upah buruh disana sangat mahal. Sehingga alternative yang dapat dilakukan ialah mengganti tenaga kerja dengan teknologi mesin. Sedangkan di negara sedang berkembang (NSB) upah buruh amat murah, misalnya saja di Indonesia. Oleh karena itu, masih memungkinkan untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja daripada menggunakan mesin. Sehingga Indonesia sebagai salah satu negara sedang berkembang lebih tepat menggunakan pendekatan Padat Karya untuk proses produksi. Selain upah buruh, alasan lain yang adalah penyerapan tenaga kerja. Dengan TPK berarti proses produksi akan membuka lapangan pekerjaan yang banyak. Bila tenaga kerja banyak terserap, maka daya beli meningkat sehingga permintaan pasar bertambah. Dengan begitu laju perekonomian akan semakin baik.
Pasalnya di negara berkembang ketersediaan tenaga kerja manusia lebih banyak dibanding modal. Mempekerjakan banyak tenaga kerja akan lebih menghemat biaya operasional dibanding dengan menggunakan banyak mesin besar. Sementara di negara maju lebih cocok diterapkan teknik produksi padat modal. Hal ini karena di negara maju lebih banyak tersedia modal dibanding tenaga kerja. Selain itu, tenaga kerja di negara maju biasanya menginginkan upah atau gaji yang relatif lebih mahal.
Namun cara lain yang dapat dilakukan ialah dengan mengembangkan keduanya secara bersamaan. Industri padat modal cenderung lebih sulit untuk dikembangkan, dan membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum bisa dirasakan hasilnya. Selama tahun-tahun itu (sebelum industri padat modal berbuah), industri padat karya seharusnya bisa digunakan untuk mensupport kegiatan perekonomian. Jika industri padat modal telah tumbuh, teknologi yang dihasilkan dari industri tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan level produksi industri padat karya. Secara implisit, TPK maupun TPM berfondasikan kualitas Sumber Daya Manusia yang tinggi. Kualitas tersebut mencakup kualitas fisik (kesehatan dan gizi), non fisik (pendidikan dan ketrampilan), moral dan etika. Dengan kualitas SDM yang tinggi, baik padat modal maupun padat karya akan dapat memberikan keuntungan bagi Indonesia.


Rabu, 19 April 2017

Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian di Indonesia

sumber gambar : mediatataruang.com
 

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, yang unggul dalam pertaniannya. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk sangat besar. Jumlah penduduk tersebut semakin bertambah setiap tahunnya. Sehingga di Indonesia rentan akan terjadinya alih fungsi lahan. Dimana lahan produktif dijadikan sebagai perumahan untuk mengimbangi peningkatan jumlah penduduk. Alih fungsi lahan biasanya terkait dengan proses perkembangan wilayah, bahkan dapat dikatakan bahwa alih fungsi lahan merupakan konsekuensi dari perkembangan wilayah. Bila keadaan seperti ini terus dibiarkan tanpa adanya upaya penyelamatan dan perlindungan terhadap lahan pertanian produktif, maka lahan-lahan pertanian produktif akan terus dialih fungsikan dan semakin berkurang. Keadaan ini akan berdampak negatif bagi masyarakat itu sendiri, karena mengingat begitu penting dan bermanfaatnya lahan pertanian bagi menunjang kelangsungan masyarakat dalam hal pangan.

Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan strategi dalam mengatasi dan mengendalikan permasalahan alih fungsi lahan yang terus terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Pengendalian alih fungsi lahan sawah yang dapat dilakukan diantaranya, yaitu melalui kebijakan regulasi. Pemerintah sebagai pengambil kebijakan perlu menetapkan sejumlah aturan dalam pemanfaatan lahan yang ada. Berdasarkan berbagai pertimbangan teknis, ekonomis, dan sosial, pengambil kebijakan bisa melakukan pewilayahan (zoning) terhadap lahan yang ada serta kemungkinan proses alih fungsinya. Selain itu, perlu mekanisme perizinan yang jelas dan transparan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan yang ada dalam proses alih fungsi lahan. Dalam tatanan praktisnya, pola ini telah diterapkan pemerintah melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah. Namun, pelaksanaan regulasi ini di lapangan belum sepenuhnya konsisten sesuai aturan yang ada.

Banyaknya alih fungsi lahan juga disebabkan karena minimnya minat masyarakat terhadap sector pertanian. Sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa pertanian merupakan salah satu sector yang kurang menjanjikan dan memiliki risiko yang cukup tinggi. Sehingga, diperlukan pemberian subsidi kepada para petani yang dapat meningkatkan kualitas lahan yang mereka miliki, serta penerapan pajak yang menarik bagi yang mempertahankan keberadaan lahan pertanian. Ini merupakan bentuk pendekatan lain yang disarankan dalam upaya pencegahan alih fungsi lahan pertanian.

Upaya yang tidak kalah penting untuk mengurangi dan mengatasi agar tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian adalah dengan melakukan berbagai macam sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya lahan pertanian kaitannya dengan keberlanjutan kebutuhan pangan penduduk dan menyakinkan kembali pada publik dan petani bahwa menjadi petani adalah pekerjaan terhormat dan mulia. Selain itu, dengan adanya penjaminan atau perlindungan lahan dari pemerintah adalah merupakan solusi yang terbaik untuk keberlanjutan lahan pertanian. Pemerintah juga harus mampu memberikan motivasi usaha di kalangan petani agar termotivasi untuk mengubah cara pandang yang tradisional menjadi kea rah yang lebih modern.


Minggu, 16 April 2017

Bonus Demografi, Peluang atau Ancaman?


 
Bonus demograf adalah masa di mana angka beban ketergantungan antara penduduk usia produktif dengan penduduk usia tidak produktif mengalami penurunan. Dengan arti kata setiap penduduk usia kerja menanggung sedikit penduduk usia tidak produktif. Untuk mendapatkan bonus demografi tersebut, maka kualitas SDM harus ditingkatlkan secara maksimal melalui pendidikan, pelayanan kesehatan dan penyediaan lapangan pekerjaan. Berdasarkan data poyeksi penduduk, bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi pada rentan waktu tahun 2020 sampai tahun 2035. Kemudian Indonesia akan menghadapi peningkatan pesat pada kelompok penduduk usia lanjut (65+), sehingga meningkatkan kembali rasio ketergantungan. Tetapi bonus demografi tidak hanya memberikan manfaat saja, tetapi juga terdapat dampak negatif yang dapat menjadi bencana bagi Indonesia.

Bonus demografi tentu saja dapat membawa keuntungan bagi Indonesia ketika penduduk Indonesia memanfaatkan peluang ini dengan sebaik – baiknya. Jika penduduk usia produktif sadar sejak awal dan berusaha menyiapkan diri sebaik mungkin pada masa produktifnya, misalnya dengan menyiapkan investasi untuk masa pensiun dan melakukan akumulasi asset maupu tabungan. Bonus demografi akan menjadi pilar peningkatan produktifitas suatu negara dan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi melalui pemanfaatan SDM yang produktif ketika penduduk usia produktif tersebut mampu menghasilkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi mereka dan memiliki tabungan yang dapat dimobilisasi menjadi investasi.

Namun sebaliknya, bonus demografi juga dapat mendatangkan “bencana” demografi ketika penduduk usia produktif tersebut tidak memiliki pendidikan yang memadai dan tidak memperoleh ketrampilan yang cukup. Ketika hal ini terjadi, maka penduduk usia produktif akan menjadi pengangguran dan akan menghambat laju pertumbuhan perkonomian. Ketika penduduk usia produktif yang jumlahnya besar tidak terserap oleh lapangan pekerjaan yang tersedia dalam sebuah perekonomian, maka akan menjadi beban ekonomi karena penduduk usia produktif yang tidak memiliki pendapatan akan tetap menjadi beban bagi penduduk yang bekerja dan akan memicu terjadinya angka pengangguran yang tinggi.

Penduduk usia produktif terutama mereka yang berusia muda harus terus menerus didorong untuk memahami potensi yang dimilikinya. Mereka juga perlu selalu diingatkan dan dimotivasi untuk meningkatkan kapasitas serta kompetensi dirinya. Diharapkan penduduk usia produktif nanti mampu berkreasi dan mampu bersaing baik di level lokal, regional, maupun global. Dorongan tersebut akan berjalan lebih efektif apabila penduduk memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang bonus demografi. Oleh karena itu, sosialisasi tentang bonus demografi khususnya kepada penduduk usia produktif sangat diperlukan.

Ada beberapa hal yang dapat mendorong tercapainya bonus demografi dapat dimaksimalkan, diantaranya yaitu (1) peningkatan kualitas penduduk melalui pendidikan dan kesehatan. Angka partisipasi sekolah harus terus ditingkatkan agar kualitas pendidikan di Indonesia dapat meningkat. (2) tersedianya lapangan kerja yang berkualitas, (3) meningkatkan tabungan keluarga, (4) terus menggiatkan program KB agar jumlah penduduk dapat terkendali, dan (5) meningkatkan perempuan yang masuk dalam pasar kerja.

Saat ini tinggal kita sebagai mahasiswa dan kelompok penduduk usia produktif untuk memilih bonus atau bencana.

Minggu, 02 April 2017

Sustainable Development Goals dalam Mewujudkan Kesejahteraan di Indonesia


Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan salah satu misi penting yang dapat membawa negara-negara menyukseskan pembangunan negaranya pada 2016 – 2030. Tujuan ini menjadi ganti dari Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2000 – 2015. SDGs berisi seperangkat tujuan yang  disepakati dan berlaku bagi seluruh negara tanpa terkecuali termasuk Indonesia. Indonesia akan mampu menjadi negara yang menyediakan kesejahteraan berkelanjutan apabila ada kerjasama yang baim antara Pemerintah dengan masyarakat untuk melaksanakan Sustainable Development Goals (SDGs). Untuk itu, sosialisasi secara berkesinambungan perlu dilakukan supaya masyarakat di setiap negara mengerti akan pentingnya pembangunan berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan media massa.

Millenium Development Goals (MDGs) dan Sustainable Development Goals (SDGs) memiliki beberapa berbedaan, diantaranya adalah:


MDGs (2000-2015)

SDGs (2016-2030)

50 persen
Target dan sasarannya adalah separuh:
mengurangi separuh kemiskinan.
Target yang terlalu minimal.
Banyak negara telah terlebih dahulu
Mencapainya
100 persen
Target dan sasarannya adalah semua,
sepenuhnya dan tuntas
•  Mengakhiri kemiskinan
•  100 persen penduduk memiliki akta
kelahiran
•  memerlukan fokus, untuk merangkul
mereka yang terpinggir dan terjauh.
Dari negara maju, untuk negara
berkembang
MDGs mengandaikan bahwa negara
miskin dan berkembang yang mempunyai
pekerjaan rumah. Sementara itu negara
maju mendukung dengan penyediaan
dana.
Berlaku universal
SDGs memandang semua negara memiliki
pekerjaan rumah.
Tiap–tiap negara wajib mengatasinya.
Tiap–tiap negara harus bekerja sama untuk
menemukan sumber pembiayaan dan
perubahan kebijakan yang diperlukan.
Dari Atas (top down)
Dokumen MDGs dirumuskan oleh para elite
PBB dan OECD, di New York, tanpa melalui
proses konsultasi atau pertemuan dan
survei warga.
Dari Bawah (bottom up) dan partisipatif
Dokumen SDGs dirumuskan oleh tim
bersama, dengan pertemuan tatap muka
lebih dari 100 negara dan survei warga.
Solusi parsial atau tambal sulam
8 Tujuan MDGs sebagian besar hanya mengatasi gejala–gejala kemiskinan saja
Masalah ekologi dan lingkungan hidup tidak diakui
Ketimpangan tidak mendapatkan perhatian.
Demikian halnya dengan soal pajak dan pembiayaan pembangunan
Solusi yang menyeluruh
Berisi 17 tujuan yang berupaya merombak
struktur dan sistem
•  Kesetaraan gender
•  Tata pemerintahan
•  Perubahan model konsumsi dan produksi
•  Perubahan sistem perpajakan
•  Diakuinya masalah ketimpangan
•  Diakuinya masalah perkotaan

 

SDGs berisi 17 Tujuan. Salah satu Tujuan SDGs adalah mengatur tata cara dan prosedur masyarakat yang damai tanpa kekerasan, nondiskriminasi, partisipasi, tata pemerintahan yang terbuka serta kerja sama kemitraan multi pihak. Adapun 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) adalah:

1.      Tanpa Kemiskinan


Tidak ada kemiskinan dalam bentuk apapun di seluruh penjuru dunia.


2.      Tanpa Kelaparan


Tidak ada lagi kelaparan, mencapai ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang berkelanjutan.


3.      Kesehatan yang Baik dan Kesejahteraan


Menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur.


4.      Pendidikan Berkualitas


Menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang.


5.      Kesetaraan Gender


Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan kaum ibu dan perempuan.


6.      Air Bersih dan Sanitasi


Menjamin ketersediaan air bersih dan sanitasi yang berkelanjutan untuk semua orang.


7.      Energi Bersih dan Terjangkau


Menjamin akses terhadap sumber energi yang terjangkau, terpercaya, berkelanjutan dan modern untuk semua orang. 


8.      Pertumbuhan Ekonomi dan Pekerjaan yang Layak


Mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan, lapangan kerja yang produktif serta pekerjaan yang layak untuk semua orang.


9.      Industri, Inovasi dan Infrastruktur


Membangun infrastruktur yang berkualitas, mendorong peningkatan industri yang berkelanjutan serta mendorong inovasi.


10.   Mengurangi Kesenjangan


Mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di antara negara-negara di dunia.


11.  Keberlanjutan Kota dan Komunitas


Membangun kota-kota serta pemukiman yang berkualitas, aman dan bekelanjutan.


12.  Konsumsi dan Produksi Bertanggung Jawab


Menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola produksi.


13.  Aksi Terhadap Iklim


Bertindak cepat untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya.


14.  Kehidupan Bawah Laut


Melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan yang berkelanjutan.


15.  Kehidupan di Darat


Melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah.


16.  Institusi Peradilan yang Kuat dan Kedamaian


Meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan bagi semua orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan.


17.  Kemitraan untuk Mencapai Tujuan


Memperkuat implementasi dan menghidupkan kembali kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan.


            Sebagai tolak ukur manfaat dari adanya Pembangunan Berkelanjutan ini adalah  bisa dilihat dari tersedianya pelayanan kesehatan dan pendidikan. Tercukupinya perumahan dan pangan bagi seluruh kelompok masyarakat, serta berkurangnya ketimpangan. Dalam mewujudkan SDGs ini, sangat diperlukan peran pemerintah daerah karena sistem pemerintahan Indonesia saat ini yang menganut sistem desentralisasi sehingga nasib dan kualitas masyarakat dalam praktiknya sangat ditentukan oleh kinerja dari pemerintah daerah.

 

Referensi : 

http://www.un.org/sustainabledevelopment/